Oleh : Andi Muhammad Ali
Sebagai bentuk spiritualitas Islam, tasawuf pada mulanya muncul sebagai gerakan zuhud, yaitu sikap mengingkari gejala kemewahan dan materilistis yang berlebihan dengan memperbanyak ibadah. Gejalah itu melanda masyarakat kelas atas dan menengah muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Sebagai gerakan zuhud, tasawwuf menekankan kepada sikap tawadhu' dan tawakkal.
Pada akhir abad ke-8 M gerakan ini mengubah diri menjadi Jalan Cinta. Mahabbah menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawwuf, yaitu Ja'far Al- Shidiq (699-756 M), yang dianggap sebagai pencetusnya, ia juga seorang ahli hadist dan tafsir. Mahabbah juga dikembangkan oleh Syaqiq al Balkhi, Haris al Muhasibi, dan pertama kali dipopulerkan oleh Rabi'ah al Adawiyah. Pada saat dikembangkan para sufi tersebut tingkat keruhanian terpenting yang tersusun meliputi : taubat, sabar, harap, takut, fakir, zuhud, tauhid (selaras dengan kehendak Tuhan), tawakkal, dan cinta, termasuk didalamnya ada kerinduan, kekariban, dan ridho, yaitu puas terhadap kehendak-Nya.
Cinta berkembang sebagai gagasan keruhanian setelah tasawuf meninggalkan wujudnya sebagai gerakan keruhanian yang bersahaja sesudah abad ke-8 M (abad ke-2 Hijriah). Saat itu tasawwuf lebih sebagai kehidupan zuhud dan tingkat keruhanian yang tertinggi ialah tawakkal dan taqwa.
Pengakuan akan keesaan hanya diperuntukkan bagi Allah swt. Sedangkan makrifat diperuntukkan bagi orang yang telah mencapai hakekat. Cinta adalah penghubung atau pengikat antara kita dengan Allah. Jadi cinta ialah pengikat, penghubung, laluan, tarekat atau jalan naik menuju tauhid. Dimana saja cinta menjelaskan bahwa tujuan hanya satu, yaitu kemutlakan dan kebenaran Yang Haqq. Cinta disini dipandang sebagai metode.
Pada akhir abad ke-9 dan 10 M, dengan munculnya tokoh sufi terkemuka seperti Hasan al Nuri, Abu Yazid al Busthami, dan Manshur al Hallaj, untuk cinta dipergunakan istilah yang lebih dalam pengertiannya yaitu 'isyq yang berarti cinta birahi. Kata-kata ini diambil dari hadist asyiqani wa asyiqtuhu yang menurut Ibnu Sina menjelaskan bahwa puncak dari cinta sejati ialah persatuan rahasia dengan Allah.
Do'a yang diucapkan oleh Rasulullah Saw, merupakan pijakan yang baik bagi para sufi untuk berpersepsi dan memposisikan cinta tersebut, yang berbunyi :
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan aku memohon kepada-Mu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin." (HR. Tirmidzi)
Para sufi berkeyakinan bahwa cinta merupakan dasar penting untuk memasuki kehidupan keagamaan dan memperoleh rujukannya dari Al Qur'an bahwa: "Mereka yang beriman hanyut di dalam cinta mereka kepada Allah Swt",
"Jika kau mencintai Allah ikutlah aku; Tuhan akan mencintaimu", "Kepada mereka yang beriman dan berbuat kebajikan, ke atas mereka Tuhan Yang Maha Pengasih akan mengaruniakan cinta". Tentu saja masih banyak ayat yang dapat dijadikan dasar bagi pentingnya cinta dalam kehidupan keagamaan Islam. (Taftazani, 1985).
Sebagai bentuk spiritualitas Islam, tasawuf pada mulanya muncul sebagai gerakan zuhud, yaitu sikap mengingkari gejala kemewahan dan materilistis yang berlebihan dengan memperbanyak ibadah. Gejalah itu melanda masyarakat kelas atas dan menengah muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Sebagai gerakan zuhud, tasawwuf menekankan kepada sikap tawadhu' dan tawakkal.
Pada akhir abad ke-8 M gerakan ini mengubah diri menjadi Jalan Cinta. Mahabbah menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawwuf, yaitu Ja'far Al- Shidiq (699-756 M), yang dianggap sebagai pencetusnya, ia juga seorang ahli hadist dan tafsir. Mahabbah juga dikembangkan oleh Syaqiq al Balkhi, Haris al Muhasibi, dan pertama kali dipopulerkan oleh Rabi'ah al Adawiyah. Pada saat dikembangkan para sufi tersebut tingkat keruhanian terpenting yang tersusun meliputi : taubat, sabar, harap, takut, fakir, zuhud, tauhid (selaras dengan kehendak Tuhan), tawakkal, dan cinta, termasuk didalamnya ada kerinduan, kekariban, dan ridho, yaitu puas terhadap kehendak-Nya.
Cinta berkembang sebagai gagasan keruhanian setelah tasawuf meninggalkan wujudnya sebagai gerakan keruhanian yang bersahaja sesudah abad ke-8 M (abad ke-2 Hijriah). Saat itu tasawwuf lebih sebagai kehidupan zuhud dan tingkat keruhanian yang tertinggi ialah tawakkal dan taqwa.
Pengakuan akan keesaan hanya diperuntukkan bagi Allah swt. Sedangkan makrifat diperuntukkan bagi orang yang telah mencapai hakekat. Cinta adalah penghubung atau pengikat antara kita dengan Allah. Jadi cinta ialah pengikat, penghubung, laluan, tarekat atau jalan naik menuju tauhid. Dimana saja cinta menjelaskan bahwa tujuan hanya satu, yaitu kemutlakan dan kebenaran Yang Haqq. Cinta disini dipandang sebagai metode.
Pada akhir abad ke-9 dan 10 M, dengan munculnya tokoh sufi terkemuka seperti Hasan al Nuri, Abu Yazid al Busthami, dan Manshur al Hallaj, untuk cinta dipergunakan istilah yang lebih dalam pengertiannya yaitu 'isyq yang berarti cinta birahi. Kata-kata ini diambil dari hadist asyiqani wa asyiqtuhu yang menurut Ibnu Sina menjelaskan bahwa puncak dari cinta sejati ialah persatuan rahasia dengan Allah.
Do'a yang diucapkan oleh Rasulullah Saw, merupakan pijakan yang baik bagi para sufi untuk berpersepsi dan memposisikan cinta tersebut, yang berbunyi :
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan aku memohon kepada-Mu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin." (HR. Tirmidzi)
Para sufi berkeyakinan bahwa cinta merupakan dasar penting untuk memasuki kehidupan keagamaan dan memperoleh rujukannya dari Al Qur'an bahwa: "Mereka yang beriman hanyut di dalam cinta mereka kepada Allah Swt",
"Jika kau mencintai Allah ikutlah aku; Tuhan akan mencintaimu", "Kepada mereka yang beriman dan berbuat kebajikan, ke atas mereka Tuhan Yang Maha Pengasih akan mengaruniakan cinta". Tentu saja masih banyak ayat yang dapat dijadikan dasar bagi pentingnya cinta dalam kehidupan keagamaan Islam. (Taftazani, 1985).