Sufi yang mengalami cinta dan penyatuan dengan Allah adalah Husain Ibn Mansur al Hallaj, lahir pada tahun 858 M dan wafat tahun 922 M. Nasibnya sungguh sangat malang, karena harus mengakhiri hidupnya dengan cara di hukum mati, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris, karena ia mengatakan "Aku adalah Tuhan" Anna al-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).
Pengalaman persatuan dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, sedangkan Al-Hallaj mengalami persatuan dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang adalah dalam tubuh itu dihancurkan.
Disini terdapat juga konsef fana' yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar yakni: nasuut (kemanusiaan) dan lahuut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari sebuah hadis yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
Hadis ini mengandung arti, bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut "lahut" manusia. Sedangkan dalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut "nasut" Tuhan.
Ketika al Hallaj mengalami hulul ia berkata, "Anna al-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar).
Syatahat atau kata-kata teofani sufi yang lebih dikenal syair-syair cinta seorang sufi kepad Tuhannya, membuat kaum syariat menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syariat hanya terikat kepada formalitas ibadah, tidak menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan tujuan ibadah, yaitu mendekatakan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.
Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syariat dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini meredah setelah Imam Ghozali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Imam Ghozali menghalalkan tasawuf sampat tingakat makrifat, sungguh pun tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan ittihad (Ghozali, Tt) di nukil dari buku "Tasawuf Madzab Cinta".