MESKI hanya candaan, jajak pendapat di media sosial terkait dukungan publik andaikan militer Indonesia mengudeta pemerintahan saat ini perlu kiranya jadi bahan renungan. Merenung konsistensi kita terhadap penolakan kudeta militer Turki pada pemerintahan Erdogan. Jangan sampai inkonsisten kita berefek lanjut.
Memang, pemerintahan di negeri kita amat sangat mengecewakan banyak orang. Betul bahwa pemerintah telah lakukan hal kebaikan. Tapi andai dibandingkan dengan kerusakan dan potensi ancaman di balik kebijakan mengundang investor asing (China khususnya), publik pantas mengelus dada.
Hadirnya 10 juta imigran dari tanah seberang sungguh bukan isapan jempol yang cukup diabaikan saja. Sayang, respons aparat dan penguasa cenderung menutup mata dan mengecewakan. Itu sebabnya kejengkelan pada pemerintahan Jokowi sering dilampiaskan dengan upaya menurunkannya. Kejadian di Turki seolah menginspirasi namun dengan dukungan berbeda pastinya.
Alhasil, tidak heran bila jajak pendapat canda bikinan pengkritik Jokowi menyetujui kudeta. Persentase hasilnya amat jauh. Soal ilmiah atau tidak tidak perlu dibahas di sini. Besar kemungkinan agak berbeda hasilnya kalau inisiatif diperbuat kalangan pembela fanatik penguasa. Setidaknya persentase hasilnya tidak vulgar ingin segera Jokowi diturunkan.
Bagi banyak orang, kudeta ditolak lantaran melawan kodrat berdemokrasi. Sayangnya ini juga tidak selalu konsisten. Sejak era kemenangan FIS di Aljazair atau Mursi di Mesir, pendukung kudeta malah mereka yang gemar teriak demokrasi. Selalu ada alibi dan apologi untuk membenarkan kudeta. Hanya semata pihak yang dikudeta berseberangan ideologi politik.
Ini jua yang terjadi dalam kasus Turki beberapa hari lalu. Amat memalukan kegembiraan para aktivis liberal saat faksi militer mengudeta Erdogan. Dalih demi dalih dibuat. Begitu hasilnya Erdogan mampu mematahkan pihak pengudeta maka mereka pun berganti topeng. Mencibir soal konspirasi dan taktik drama oleh Erdogan.
Dengan demikian, menolak kudeta semata karena soal demokrasi sering inkonsisten. Atau sekurangnya memaksakan sudut pandang worldview pencipta demokrasi. Kudeta “dimengerti” karena Erdogan tidak demokratis. Ukuran demokratisnya kebebasan pers dan semacamnya. Padahal soal ini relatif. Toh ketika yang memuji demokrasi menang pun kadang bias media mudah ditemui.
Baca Juga :
Bagi saya, candaan dalam jajak pendapat untuk menurunkan Jokowi amat tidak penting. Cukuplah merefleksikan betapa dukungan rakyat Turki pada Erdogan perlu jadi perhatian Jokowi dan pembisiknya. Ada syarat ketika rakyat membela mati-matian penguasanya, yakni komitmen menepati janji. Sebuah tindakan yang dirasa masih minimal untuk diperbuat Jokowi.
Candaan tersebut malah membikin sakit hati nan akut pada pemuja Jokowi. Ada alam bawah sadar untuk iri melihat ketangguhan Erdogan. Melebihkan Jokowi oleh pendukungnya sesungguhnya cara menutup kelemahan. Di sinilah perlunya menjaga perasaan mereka. Fanatik mereka memang ditopang citra rapuh, bahkan sekaliber akademisi jebolan kampus hebat luar negeri sekalipun.
Alih-alih membuat mereka membuat pertahanan diri yang ujungnya membela mati-matian Jokowi, kiranya menahan diri untuk tidak mengusik harga diri rapuh mereka. Sebab yang utama adalah menyadarkan pemilih Jokowi yang selalu berprasangka baik dan enggan dikritik.
Segala tindakan berbau tamparan keras dan sarkas harusnya ditiadakan. Cukup dengan kritik dan saran beradab. Sebab adab dan hati memang barang mahal bagi pendukung pemerintah sekarang. Kritik dan saran halus saja kadang dibalik jadi serangan balik, apatah lagi ejekan yang mengusik idolanya.
Harus diakui, penguasa sekarang semacam pusat idola dengan ritus pemujaan yang kadang irasional. Tapi kelemahan ini mestinya digunakan untuk menyadarkan pendukung fanatik ini. Inilah kerja dakwah dai. Mendoakan penguasa perlu, tapi lebih penting lagi menyadarkan pendukungnya yang amat banyak. Kekuasaan jatuh tapi pendukung butanya banyak dan kian loyal belumlah tanda keberhasilan. Bisa-bisa dalam waktu dekat ada sarana balik yang brutal.
Lihat juga orang-orang di sekeliling penguasa. Rekam jejak mereka terhadap rakyat, terutama umat Islam, amatlah buruk. Mantan kadensus 88 hingga jenderal dalang kasus Talangsari serta Kapolri eks petinggi Densus 88. Saat yang sama, jejak pelanggaran HAM mereka nyaris dilupakan dan tidak dianggap oleh para pejuang demokrasi yang kini bergerombol di pemerintahan sekarang.
Mereka ini rentan hadirkan pembantaian bagi penyulut kudeta. Lain hal kalau suara rakyat membesar, termasuk golongan yang selamat ini memuja habis penguasa. Sementara kalaulah publik masih terbelah seperti sekarang, amat rentan ada ganjalan kontinu di tengah kita. Termasuk bagi dakwah. Dan jangan lupa, anasir umat penyokong penguasa juga banyak (antara lain sebuah ormas besar).
Kita tak ingin umat berperang opini hanya karena dukung-mendukung kudeta. Belum lagi kalau memakan korban. Kasus berebut kepemilikan rumah sakit umat di Banyumas saja jadi contoh betapa ukhuwah mudah disulut kepentingan pribadi atau kelompok. Terlebih ketika penguasa sekarang sudah kadung menguntungkan kalangan tertentu dari umat Islam. Pastilah mereka akan habis-habisan membela sosok idola. [islampos.com]